Senin, 11 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (7): SESUNGGUHNYA REVOLUSI, BUKAN REFORMASI




Melihat filosofi dan isinya, sesungguhnya reformasi atau Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional 1983 lebih tepat disebut sebagai revolusi. Karena ini bukan sekedar penataan kembali, bahkan juga bukan hanya sekedar membongkar total, melainkan membuang berbagai Undang-Undang dan peraturan-peraturan lama warisan zaman penjajahan Belanda sejak tahun 1925, serta menggantikannya dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang baru sama sekali.

Memang seperti tidak masuk akal. Tapi itulah kenyataannya. Sistem Perpajakan yang berlaku sebelumnya adalah sistem yang dibuat pada zaman  penjajahan seperti Ordonansi Pajak Perseroan  tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.

Ditinjau dari segi ketatanegaraan, landasan pemikiran, sasaran dan tujuannya, terlihat adanya perbedaan mendasar antara pemungutan pajak di zaman penjajahan dan di alam kemerdekaan sekarang ini. Pada zaman kolonial, pemungutan pajak semata-mata untuk memenuhi kepentingan Pemerintahan Penjajahan, sedangkan di era kemerdekaan pajak  adalah dari, oleh dan untuk rakyat pembayar pajak itu sendiri. Dalam suatu negara merdeka, pajak merupakan perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan peranserta anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan pengelolaan negara dan pembangunan nasionalnya, demi mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik spiritual maupun material.

Sejak tahun 1945, Indonesia adalah sebuah negara merdeka, sehingga sudah seharusnya pula memiliki sistem perpajakan baru  dengan falsafah dan landasan ideologi dari suatu negara modern yang berdaulat, yang demokratis berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya prinsip kegotongroyongan  dalam pengelolaan serta kehidupan bernegara.

Di samping asas demokrasi, perpajakan nasional harus didayagunakan sehingga mencerminkan asas keadilan sosial. Asas-asas dan falsafah tersebut harus mengubah falsafah pajak sebagai iuran wajib dari warga negara kepada Pemerintah, yang baik penetapan, adminstrasi maupun penggunannya  semata-mata menjadi wewenang Pemerintah, sebab itu Wajib Pajak ditempatkan sebagai obyek, ke suatu falsafah perpajakan baru yang menempatkan Wajib Pajak menjadi subyek yang harus aktif  serta  memegang peranan yang menentukan baik dalam membayar pajak maupun dalam menggunakannya.

Untuk itu pembiayaan Pemerintah  harus bertumpu pada sumber yang memiliki basis yang luas dan kuat, kokoh mandiri secara nasional. Basis yang seperti itu, yang secara potensial dimiliki negara adalah penduduk atau rakyatnya.  Sumber pembiayaan yang berasal dari rakyat itulah yang disebut pajak. Akan tetapi kebanyakan penduduk kita sama sekali tidak membayar pajak, bahkan di antara yang membayar pun masih banyak yang belum sebagaimana sewajarnya.

Permasalahannya, disamping sistem perpajakan yang ada tidak menunjang  karena sudah kuno, juga  tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,  baik filosofis, sistem ketatanegaraan  maupun kondisi perekonomian modern. Oleh sebab itu sistem yang lama harus diganti dengan sistem baru sama sekali.

Namun timbul masalah lain. Di mana pun dan kapan pun, masalah pajak ini amat peka. Banyak Pemerintah di berbagai belahan bumi, yang jatuh gara-gara pajak. Banyak gejolak  bahkan pemberontakan yang berkobar lantaran pajak. Karena itu meskipun Pemerintah Orde Baru semenjak awal menyadari bahwa sistem perpajakan harus diperbaiki, terpaksa mengulur-ulur waktu, dengan sekedar membuat perubahan-perubahan kecil dan perbaikan tambal-sulam, yang ternyata semakin lama bukan semakin baik, tapi justru semakin membuat ruwet dan memiliki banyak kelemahan, antara lain:   
   
1.     Terdapat berbagai jenis pajak dengan peraturan yang beraneka ragam
  1. Pelaksanaan kewajiban pajak sangat tergantung pada aparat pajak.
  2. Terdapat berbagai jenis tarif termasuk adanya tarif khusus, dengan struktur tarif yang mudah menimbulkan peluang menghindari pajak.
  3. Tata cara pemungutan yang berbelit-belit sehingga juga membuka peluang permainan.

Dalam rangka membangun sistem yang baru sama sekali buat menggantikan sistem lama, Pemerintah membentuk Panitia Pengarah serta berbagai Tim Kerja baik yang berada di dalam lingkungan Ditjen Pajak dan Departemen Keuangan maupun yang berada di luar Departemen Keuangan. Jumlah seluruh Tim mencapai 22, ditambah Panitia Pengarah menjadi 23.  13).

Guna memperoleh pengalaman dari negara-negara lain dalam melakukan reformasi perpajakan, maka disamping melakukan berbagai studi banding, Pemerintah juga meminta pendapat dari sejumlah tenaga ahli asing yang berpengalaman, agar kita bisa mengambil hal-hal yang positif dan menutup hal-hal negatif.

Bagi Indonesia, persiapan pembaruan ini  mencakup semua aspek yang terkait, mulai dari bersifat struktural sampai ke hal-hal yang bersifat prosedur, adminstratif dan bahkan berbagai permasalahaan pelaksanaannya sekaligus. Dalam perkembangannya masih ditambah lagi dengan persiapan pengembangan sistem informasi berbasis komputer. Karena itu tim yang dibentuk mencakup para ahli dan pejabat perpajakan, akuntan, ahli teknologi informasi, hukum, ekonomi bahkan ahli bahasa Indonesia.

Pelaksanaan Pembaruan Sistem Perpajakan dilakukan berdekatan waktunya dengan dimulainya Pelita IV pada bulan April 1984. Untuk periode tersebut anggaran belanja negara telah ditentukan sebesar 26% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila harga ekspor migas tidak menurun, maka pendapatan dari migas akan bisa memenuhi setengah dari anggaran belanja negara tadi, atau sektar 13% dari PDB. Arus bantuan luar negeri atau hutang luar negeri, sementara itu diharapkan memenuhi sekitar 2,5% dari PDB. Dengan demikian jika tidak ada kenaikan pinjaman komersial oleh Pemerintah dan penurunan target anggaran yang drastis, maka pendapatan dari non migas harus dinaikkan menjadi sekurang-kurangnya 10,5% dari PDB atau 3,5% lebih besar dibanding biasanya yang mencapai 7%.

Dengan kata lain, laju pertumbuhan pengumpulan pajak  haruslah sekurang-kurangnya  dua kali lipat laju perkembangan PDB. Namun perhitungan dengan data yang ada menyatakan tidak mungkin mempercepat laju perkembangan pendapatan non migas yang seimbang dengan perkembangan PDB. Karena itu, laju pendapatan non migas haruslah tiga kali lipat laju PDB, agar tingkat anggaran belanja negara bisa tetap. Akan tetapi berdasarkan pengalaman, hal ini tidak pernah terjadi di negara mana pun, sehingga sasaran pendapatan dari reformasi pajak hanyalah meningkatkan laju pendapatan dari pajak penjualan dan pajak pendapatan sebesar dua kali lipat dari laju PDB dalam jangka waktu lima tahun. Itu pun belum pernah terjadi di mana pun, kecuali bila porsi dari kedua jenis pajak tersebut rendah sekali.

Ringkasnya, paket PSPN dipersiapkan guna menghadapi kemungkinan penurunan porsi penerimaan migas dalam PDB dengan harga ekspor tahun 1983 sebagai batasan. Kalau pada pertengahan 1984 harga ekspor migas menurun lagi, maka tidak ada jalan lain guna menutup defisit negara kecuali dengan cara memotong anggaran belanja  atau meningkatkan pinjaman komersial dari negara lain. Dalam hal ini PSPN tidak diandalkan. 14).

Setelah falsafah baru berhasil dirumuskan, selanjutnya dirumuskan tujuan PSPN sebagai berikut:

1.     Menegakkan kemandirian dalam membiayai Pembangunan dengan menggerakkan segenap kemampuan nasional.
2.     Menyederhanakan sistem perpajakan terutama yang mencakup jenis, tarif dan pembayarannya. Dengan sistem yang sederhana, diharapkan masyarakat mudah mempelajari sendiri, sementara di lain pihak memperkecil kesempatan kontak dengan aparat pajak.
3.     Menyusun sistem pembayaran pajak yang adil tapi mudah diwujudkan pelaksanaannya.
4.     Membenahi dan menata aparatur perpajakan yang meliputi semua aspek baik porsedur, tata kerja, disiplin maupun mental.
5.     Membuat beban pajak yang semakin adil, wajar dan mengandung semangat pemerataan bagi semua penduduk, sehingga di satu pihak mendorong Wajib Pajak melaksanakan  dengan sadar kewajibannya membayar pajak, di lain pihak menutup lubang-lubang bagi penghindaran dan penggelapan pajak.

PSPN dengan falsafah dan tujuan seperti diuraikan diatas memiliki enam ciri, yaitu:

1.     Sederhana baik dalam jumlah dan jenis pajaknya, tarif  dan sistem pemungutannya serta menghapuskan pajak berganda.
2.     Mencerminkan pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan.
3.     Memberikan asas keadilan dan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparat pajak.
4.     Menutup peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang.
5.     Memberikan kepercayaan yang besar kepada Wajib Pajak dengan memberlakukan asas menghitung dan menyetor sendiri kewajiban pajaknya (self assessment).
6.     Mendorong dan memberikan pengaruh yang positif pada kegiatan ekonomi dan bisnis.

Berdasarkan falsafah, tujuan dan ciri-ciri seperti itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) disusun, sehingga menjelang pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1983, Panitia Pengarah dan timnya sudah mempunyai gambaran yang pasti tentang paket PSPN. Gambaran itu pulalah yang menjadi dasar bagi Presiden  untuk menyinggung dan memberitahukan kepada sidang Dewan Perwakilan Rakyat, mengenai akan diajukannya beberapa RUU dalam rangka melakukan reformasi perpajakan sebelum Repelita IV (1 April 1984) dimulai.

Sebelum pidato kenegaraan 16 Agustus 1983, sesungguhnya Pemerintah juga sudah melakukan pra-kondisi dengan memasukkan pokok-pokok dari reformasi perpajakan ke dalam pembahasan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1983.

Demikianlah, pematangan penggodogan PSPN terus dilakukan secara maraton, menyeluruh, terpadu dan simultan mulai dari RUU sampai dengan rancangan berbagai peraturan pelaksanaannya seperti rancangan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri sampai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang dipersiapkan sudah bisa dikeluarkan sekaligus semuanya pada saat diundangkan.

Tiga bulan semenjak disinggung dalam pidato kenegaraan, akhirnya pada hari Saptu tanggal 5 November 1983, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, mengajukan Paket I dari PSPN  ke Sidang Paripurna DPR. Paket I ini terdiri dari tiga RUU yaitu RUU tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),  RUU tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan RUU tentang  Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Paket II diajukan  dua tahun berikutnya, yaitu Senin 4 November 1985, terdiri dari RUU tetang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta RUU tentang Bea Meterai (BM). (bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda