Minggu, 10 Maret 2013

Revolusi Perpajakan 1983 (13): YANG TAK MUNGKIN MENJADI MUNGKIN




Pada hari Selasa tanggal 6 Januari 1987, sejarah yang ditulis dengan tinta emas mengenai PSPN ditorehkan. Pada hari itu pukul 9.40, Presiden Soeharto menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 1987/1988 ke Dewan Perwakilan Rakyat. Peristiwa ini mengandung informasi sekaligus prestasi yang luar biasa. RAPBN 1987/1988 menunjukkan, untuk pertama kali sejak awal dasawarsa 1970-an penerimaan dalam negeri dari pajak telah kembali menyalib penerimaan migas.

Kalau selama itu penerimaan migas selalu menjadi primadona dan nyaris sebagai pilar tunggal bangunan perekonomian negara, maka sejak tahun 1987/1988 akan terjadi kebalikannya. Penerimaan di luar migas, khususnya dari pajak dibanding migas menjadi 60 : 40. Sesuatu yang dulu seperti tidak mungkin, kini menjadi mungkin. Menjadi kenyataan. Alhamdulillah, penurunan harga minyak justru menjadi berkah memicu tekad dan semangat  menegakkan kembali pilar penerimaan negara, membentuk struktur penerimaan negara yang kokoh lagi sehat.

Radius Prawiro yang pada tahun 1988 sudah berganti menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin & Wasbang), mengungkapkan rasa syukurnya dengan menyatakan, PSPN yang dicanangkan dan diberlakukan semenjak tahun 1983, merupakan tindakan yang tepat waktu dan tepat guna dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang sangat mengkhawatirkan akibat memburuknya perekonomian dunia dan nasional. Karena itu tidak berlebihan pulalah, bila para tokoh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam berbagai seminar dan diskusi menganggap PSPN sebagai bayi yang dipacu untuk segera berlari.

Bayi tersebut ternyata kemudian memang sanggup segera berlari, dalam artian mampu bertindak sebagai penyelamat penerimaan negara sebagai akibat anjloknya harga minyak dan gas bumi. PSPN tersebut segera dapat memenuh fungsi dan tugasnya, karena keinginan yang besar, disertai tekad dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat bahkan seluruh kekuatan dan potensi nasional. 20)

Istilah bayi yang dipacu berlari sangat tepat. Suatu reformasi, apalagi revolusi seperti PSPN ini, pada umumnya memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat memperlihatkan hasilnya. Revolusi perpajakan memerlukan penyesuaian  terhadap sikap, perilaku dan sistem nilai masyarakat terhadap pajak. Termasuk dalam “masyarakat” di sini ialah aparat pajak serta birokrasi pemerintah lainnya.

Di banyak negara yang mengadakan PSPN, pelaksanaan PSPN dalam 5 tahun pertama dititikberatkan pada pemasyarakatan sistem perpajakan yang baru, dengan tujuan memantapkan basis pajak. Di Indonesia tidak demikian halnya. Kita dihadapkan pada berbagai tuntutan kebutuhan yang amat mendesak, yang mencakup tidak kurang dari 4 macam sasaran, yaitu :

  1. Memperluas basis pajak.
  2. Meningkatkan penerimaan pajak guna mengatasi kelangkaan dana anggaran negara akibat kemerosotan penerimaan dalam negeri lainnya. Pada awal PSPN, sesungguhnya menggenjot penerimaan ini, kontradiktif  dengan upaya memperluas basis.
  3. Memperbaiki citra aparat.
  4. Menghapus sindrom pajak yang telah diwariskan oleh penjajah selama lebih tiga abad. 21)

Demikianlah, pada saat PSPN dilaksanakan, penerimaan pajak baru sekitar 30% dari seluruh penerimaan negara. Pada waktu itu penerimaan pajak hanya Rp.2,9 trilyun, dengan jumlah wajib pajak baik badan maupun perseorangan 435.517. Dua tahun kemudian, pada tahun 1986/1987, ketika Indonesia betul-betul menghadapi krisis karena harga migas jatuh tajam, sistem perpajakan yang baru ini sudah mulai berjalan dengan lancar, meskipun pada mulanya menghadapi hambatan berat. Saat itu penerimaan non migas bergerak ke 61 persen. Dengan membalikkan kecenderungan  yang telah lama berlangsung, penerimaan pajak melonjak melebihi pendapatan migas. Pada tahun fiskal 1994/95, 76 persen pendapatan Pemerintah merupakan sumbangan dari pajak.



 

20). Yozar Anwar (editor), “Strategi Perpajakan Mendukung Pembangunan”, Bina Rena Pariwara, 1990, hal 1.
21). “Prospek dan Faktor Penentu Reformasi Perpajakan”, hal xvii
Sistem perpajakan baru telah berhasil dengan baik. Faktor terpenting di belakang keberhasilan ini adalah karena sistem perpajakan diciptakan dalam suasana deregulasi: ribuan peraturan serta persyaratan rumit disingkatkan dalam sistem sederhana yang relatif dapat dimengerti secara mudah. Lagi pula proses pengumpulannya jauh lebh tidak padat karya.  Khususnya PPN, yang menurut istilah Pak Radius, sangat lihai dalam cara mengalihkan beban pengumpulan kepada para pedagang.


Dari tahun ke tahun, jumlah wajib pajak terus melesat sehingga pada tahun 2013 ini mencapai 22,89 juta yang terdiri dari 20,2 juta wajib pajak perorangan dan 2,07 juta wajib pajak badan. Memang angka-angka tersebut masih bisa diperdebatkan, karena  dalam angka-angka tahun 1983 itu, wajib pajak perorangan yang hanya memiliki satu mata penghasilan tidak perlu memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri, melainkan cukup diwakili oleh Perusahaan yang memperkerjakan. Sedangkan dalam ketentuan sekarang, mereka harus memiliki NPWP sendiri. Meskipun demikian dengan melihat jumlah wajib pajak badan, bisa disimpulkan telah terjadi lonjakan besar.

Sementara itu dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2013 sebanyak Rp.1.529 trilyun, 75 persen berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp.1.193 trilyun,  salah satunya bersumber dari PPN yang diperkirakan mencapai lebih Rp.424 trilyun. PPN dijadikan mesin uang andalan penerimaan negara jangka pendek dan panjang karena relatif mudah dipungut. Untuk memungut PPN, Pemerintah tidak perlu berhubungan langsung dengan rakyat tapi cukup dengan pengusaha produsen. Sedangkan untuk meningkatkan Pajak Penghasilan (PPh) yang sesungguhnya lebih adil, diperlukan waktu yang agak lama.

PPh memerlukan banyak persiapan baik pada aparat pajak maupun wajib pajaknya, antara lain perlu memperluas basis pajak dan jumlah wajib pajak. Jadi PPN ini unik, meski kurang adil, namun rakyat tidak merasa terbebani. Oleh sebab itu begitu lahir langsung melejit, selanjutnya dari waktu ke waktu penerimaan PPN terus meningkat sejalan  dengan pertumbuhan ekonomi.

Mengenai keberhasilan PSPN,  pada hemat Radius Prawiro bukan berarti sudah tidak ada masalah. Sistemnya masih perlu ditingkatkan. Memang kolusi serta penghindaran telah dikurangi, akan tetapi belum tuntas dibasmi. Kita masih perlu memperhalus sistemnya sehingga  para wajib pajak mengerti dengan lebih jelas apa yang merupakan kewajiban mereka, serta agar kesempatan-kesempatan untuk menghindar atau berkolusi dapat ditiadakan. Kalau tidak, momentum kemajuan mungkin akan hilang dan revolusi perpajakan yang dimula pada  tahun 1983 akan berakhir sebagai contoh lagi tentang ketidak mampuan negara untuk menanggulangi inefisiensi serta penyalahgunaan  yang selama berpuluh-puluh tahun telah mencemari usaha pengumpulan pajak. 21)


 
21). “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi” hal 337.


Jika Radius Prawiro menekankan pentingnya memperhalus sistem serta terus meningkatkan upaya-upaya mencegah kolusi dan penghindaran pajak, maka Salamun AT dalam bukunya “Pajak, Citra dan Upaya  Pembaruannya” berwasiat agar di masa mendatang, kita terus melakukan pemasyarakatan secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak, dalam suatu gerakan kampanye yang terencana, terpola rapi, terkoordinasi, komprehensif, simultan, tanggap dan sigap, seiring dengan jalannya roda pemerintahan. Dalam hal ini hendaknya senantiasa diingat bahwa Wajib Pajak akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan berkembangnya generasi bangsa (halaman 304).

Ijinkanlah dalam kesempatan ini penulis juga mencatat dua hal yang belum sempat dituntaskan dalam Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional tahun 1983, yang dewasa ini perlu ditindaklanjuti yaitu:
Pertama, penataan dan pemantapan fungsi serta kelembagaan dari (1). Pembuatan peraturan-peraturan perpajakan; (2). Pelaksanaan perpajakan; (3). Pemeriksaan pajak; (4). Peradilan pajak; (5). Pengawasan.
Kedua, pencegahan penghindaran dan kolusi pajak karena transfer pricing (harga transfer). Transfer pricing adalah transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi atau perusahaan dalam satu grup usaha. Penyalahgunaan transfer pricing semakin sulit ditangani bila dilakukan oleh jaringan perusahaan-perusahaan multinasional.

Wartawan Iwan Piliang  dalam investigasinya yang dipublikasikan secara luas pada pertengahan  tahun 2010, misalkan www.tempo.co, Rabu 30 Juni 2010, melaporkan kerugian Indonesia  akibat transfer pricing dalam tahun 2009 saja, mencapai sekitar Rp.1.300 trilyun. Jumlah tersebut sangat fantastis dan masih perlu dicek kebenarannya, meskipun bersumber dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Namun dugaan tentang terjadinya  manipulasi pajak dari transfer pricing serta mafia peradilan pajak yang menangani sengketa-sengketa transfer pricing, cukup beralasan dan patut ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya. Semoga.(bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda